Siang tadi...


Hai selamat larut malam.
Kuyakin kamu sudah terlelap sekarang. Dan itulah alasan mengapa aku menulis ini pada jam-jam jahat seperti ini. Karna kamu sudah tertidur, dan aku tak perlu penasaran dengan pembaruan kabarmu di lini waktu. Entahlah, aku terbiasa memperhatikanmu,dulu. Ya, dulu saat aku dan kamu masih dalam satu status yang sama. Dan sampai saat ini –atau kapanpun– perhatianku masih sama.

Siang tadi matahari begitu menyengat, menambah gerah hati dan pikiranku. Aku memasuki sebuah cafe kecil yang penuh sesak. Tentu saja, ini jam makan siang. Aku memesan satu Lychee Smoothies dengan topping oreo dan pudding, lalu segera menempati sofa diujung cafe yang masih kosong. Handphone-ku bergetar, yang kuharap itu dari kamu. Kecewa, ternyata bukan kabar darimu. Sedari tadi aku tak henti mondar mandir membuka handphone, mengecek pemberitahuan, lalu menutupnya lagi. Begitu terus menerus. Tidak, bukan hanya hari ini. Tapi rutinitas itu sudah terjadi lebih dari 1 bulan setelah hatiku direbut olehmu.

Aku menyeruput lychee smoothies-ku, lalu melempar pandang keluar jendela. Mendung diluar sana, begitupula disini, dihatiku. Selalu saja mesin waktu diotakku menjatuhkan aku disaat-saat aku dan kamu masih sewajarnya kekasih. Kamu membuat waktu-ku berarti, walaupun sekedar diantar-jemput dengan percakapan sekadarnya. Tapi itu cukup menghidupkan kupu-kupu diperutku. Ingin rasanya smoothies ini ku beri tambahan topping, Yakni kamu disampingku. Berbagi cerita tentang harimu, apapun itu. Tapi sayang, kamu tak pernah melakukan itu,bukan?

Kamu dengan sifat cuekmu itu sudah membuatku beradaptasi sekian lama. Awalnya aku mampu menyesuaikan diri. Namun, tak munafik bila aku juga ingin seperti yang lain. Bercakap lewat telepon hanya untuk membunuh rindu, Saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, Dikenalkan dengan dunia sendiri-sendiri, lalu Makan berdua disuatu tempat, aku ingin seperti itu. Kekanak-kanakan memang, tapi apa adanya aku seperti itu. Aku tak seperti kamu yang mampu tak mengabariku seharian penuh, Tenggelam dalam kesibukanmu tanpa memikirkan aku, Tak mengirimiku pesan bila bukan aku yang memulai, aku tak bisa seperti itu. Aku bukan kamu. Aku suka mengabarimu tiap selesai kegiatan, menanyakan keadaanmu tiap pagi, menguntitmu diam-diam di lini waktu, itu aku.

Aku mengangkat tanganku, melambai pada perempuan berseragam dengan papan nama di dada sebelah kiri. “Kentang goreng BBQ, sama Taro Milktea tanpa topping. Makasih ya,Mbak” ujarku. Perempuan itu mengulang pesananku tadi lalu mencatatnya dan berlalu. Ya, sudah kujelaskan bukan bahwa cuaca siang tadi sangat panas? Lychee Smoothies saja tak cukup mendinginkan tenggorokanku. Aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Ada pergolakan besar-besaran disana, antara bertahan dalam pengabaianmu terus-terusan atau menyudahi dulu ini sembari saling menemukan kebahagiaan masing-masing. Ya, Tentang kamu. Bolak-balik kuputar terus pertanyaan itu dari otak ke hati, otak ke hati. Logikanya aku harus sudah menyerah sejak awal, sejak kamu berubah. Ehh bukan berubah, tapi menunjukkan sifat aslimu. Bukan aku tak terima, hanya saja aku heran. Bagaimana bisa kamu yang aslinya secuek itu bisa begitu perhatian diawal kita bertemu? Diawal aku dan kamu mulai menebar rasa yang sama? Lalu kamu memutar semuanya, menarik aku secara kasar kedalam dunia cuek-mu. Siapa yang tahan? Mungkin yang lain bisa, tapi aku belum bisa. Tapi aku tak hanya bicara tentang logika, tentang perasaan –pun tak kuabaikan. Cinta –kah aku? Tentu. Bila tidak, sudah sejak awal aku menyerah, tapi nyatanya –kan tidak. Aku bertahan karna aku mencintaimu, Sungguh. Mengapa aku ingin bertahan? Karna aku yakin, suatu saat kamu akan tau bahwa ada aku yang selalu cemas menanti kabarmu, yang selalu berharap bertemu denganmu bila kesibukanmu sudah habis, yang ternyata mencoba mendewasakan dirinya untuk kamu, Ya untuk kamu. Itu alasanku bertahan, alasanku tetap pada rasa yang sama walaupun ku tau perasaanmu –padaku–sudah tak sama. Mungkin kamu tak sadar, bahwa aku mengetahui semuanya tentangmu walaupun kamu tak pernah cerita. Dan aku sudah terima itu semua, untuk kamu. Tapi ternyata hatiku tak sekuat itu, hatiku tak setangguh itu. Hatiku masih ciptaan Tuhan, bukan ciptaan pabrik yang sudah di modifikasi sana-sini. Hatiku juga perlu dibahagiakan, entah oleh kamu atau oranglain.

  Perempuan berseragam tadi datang membawa nampan dan pesananku diatasnya. Meletakkannya diatas mejaku, dan berlalu. Ku ambil kentang goreng itu satu persatu lalu kukunyah perlahan, sembari menyeruput taro milk tea. Kunikmati dulu rasanya, sensasi dinginnya, manisnya, lalu aku cepat-cepat membuka handphone. Masuk kedalam ruang obrolan kita, lalu mengetikkan sesuatu. Bukan, bukan sesuatu, lebih tepatnya banyak hal. Ku tekan tombol delete berkali kali, lalu keluar dari ruang obrolan. Aku tak bisa mengungkapkannya sekarang. Tapi aku mau sampai kapan seperti ini? Seolah aku yang mengemis-ngemis cintamu, ya Kamu si juragan hati. Berkali-kali kulakukan itu, masuk ruang obrolan, mengetik sesuatu, menghapusnya, lalu ketik ulang. Aku ungkapkan perasaanku, lukaku, kecewaku, dan harapanku didalam sana. Kubaca ulang, memastikan tak ada kata-kata kasar yang menyakitimu. Terkirim. Namun belum kau baca.
Kuhempaskan kepalaku kebelakang, pendingin udara didalam sini tternyata tak bekerja untukku. Kuhembuskan nafasku berkali-kali dengan berat. Sesak.

Tiba-tiba handphone-ku berdering. Terlihat nama pemanggilnya dilayar depan. Aku tercekat, itu kamu. Pertama kalinya –dan mungkin terakhir–kamu menelponku. Kuhembuskan nafas berkali-kali, mengatur suaraku, lalu mengangkatnya. Terdengar kamu menahan emosi diujung sana. Aku jelaskan maksud pesan panjangku tadi. Lalu kamu bertanya berkali-kali, seakan ingin membalik semua perkataanku, namun ternyata kamu tak mampu. Aku mendengarnya, aku mendengar emosimu. Masihkah ingin pertahankanku?
Sambungan terputus. Kamu yang menutup telepon. Lalu mengirimiku pesan.
Kamu masih sayang aku?
Ya Tuhan, semestinya kamu tau, tak perlu bertanya. Bila tak menyayangimu, untuk apa aku mati-matian mengatur ucapanku didepanmu agar tak menyakitiku? Bisa saja aku langsung mengucapkan kata putus di telepon tadi, tapi aku masih memikirkan perasaanmu.

Aku keluar cafe setelah membayar pesananku. Menuju parkiran, lalu pulang. Kini sayapku benar patah separuh. Berakhir sudah semuanya, aku dan kamu. Sama-sama kalah, tak ada yang menang. Entah rela –kah aku nanti saat melihatmu bersama bidadari selain aku, yang pasti aku benar tau bahwa kamu –pun tak sepenuhnya bahagia bersamaku. Harapku, jangan perlakukan bidadarimu nanti selayaknya kamu perlakukan aku –dan masalalumu–karna takkan ada yang mampu.
Baiklah, kuharap kamu tak membaca ini. Karna kamu pasti akan berkata “Aku gak begitu.. aku bukan maksud begitu.. aku.. aku.. aku..”
Ya, itu menurutmu. Selamat malam.

Dari aku, yang kini menjadi masa lalu –mu

Comments

Popular Posts