Pelangi Terakhir
Aku masih duduk terdiam, begitu juga kamu.
Lelaki yang selama ini menjadi pewarna
hari-hariku.
Kita sibuk akan pikiran masing-masing, tentang
pendapat masing-masing, dan tentang keputusan masing-masing.
“Maaf Dis, Aku yang salah. Aku gak mungkin nyakitin
kamu terus, kita akhirin aja semua. Sorry Dis.”
Kata-kata itu terucap memecah keheningan yang
sedari tadi berteriak meminta disudahi.
Dan kini, semua benar-benar disudahi.
Diakhiri.
Bulir-bulir air mata merembes dari mataku,
mengalir ke pipi, lalu jatuh.
Kamu pergi bersama separuh hatiku yang telah
lama tertambat pada hatimu.
Kamu pergi meninggalkan sejuta luka dan
kehancuran, didalam sini, dihatiku.
Aku masih saja duduk terdiam.
Mencium basah tanah yang terkena hujan.
Menghembuskan nafas berkali-kali karna terasa
sesak.
Aku melihat keatas, ada pelangi.
Seketika, hujan air mata kembali deras.
Aku sadari, Cinta lebih menyakitkan ketika kita ditinggalkan.
Awalnya aku bertemu denganmu dalam ketidak
sengajaan.
Hujan yang menahan-ku untuk tetap berada
didalam Cafe itu.
Menanti-nya reda, kupesan secangkir coklat
hangat.
Aku pertama kali melihatmu disana, ya di cafe
itu.
Kamu sedang meniup saxophone diatas sebuah
panggung kecil,dipojok cafe.
Bersama dengan teman-temanmu menyuguhkan
lagu-lagu yang sendu.
Ternyata tak hanya saat itu aku bertemu
denganmu.
Lagi-lagi hujan menahanku untuk tetap berada
didalam cafe ketika kamu sedang berada diatas panggung.
Tak sadar, saat itulah kita pertama kali
bertatapan.
Entah pesan apa yang kamu sampaikan, aku tak
peduli.
Namun kuyakini, aku selalu ingin hujan
menahanku lebih lama agar dapat melihatmu.
Suatu ketika, aku berada disebuah toko buku.
Mencari novel-novel baru.
Dan, memang Tuhan memiliki cara sendiri untuk mempertemukan
cinta.
Aku berpapasan denganmu, lama kita
berpandangan.
Kamu tersenyum, dan berkata
“Kamu, yang sering dateng di cafe itu kan?”
Ya, kamu mengingatnya dengan baik.
“Aku Bima, namamu?”
“Dista” ujarku.
Kita larut dalam pembicaraan yang panjang.
Tak terasa waktu bergulir cepat.
Aku segera kekasir untuk membayar buku yang
akan kubeli, begitu juga kamu.
Ternyata memang hujan itu romantis.
Hujan turun deras, seketika menahanku dan kamu
untuk tetap berada didalam toko buku.
Kita duduk disebuah meja kecil dipojok toko,
dekat kaca besar.
Di sela-sela perbincangan, kamu menarik nafas
panjang.
“Dista, Kamu tau apa yang istimewa dari
hujan?” tanyamu.
Aku menggeleng pelan.
“Memangnya apa?”
“Istimewa-nya hujan adalah ia membiarkan
gemericiknya untuk menyembunyikan tangisan orang-orang yang terluka, basahnya
sengaja menyejukkan hati mereka. Lalu setelah hujan reda, Ia ciptakan pelangi
yang indah untuk menghapus hati yang kelabu.”
Ujarmu semangat dan tersenyum.
Senyum manis itu yang membuatku merindukanmu,
selalu.
Aku pun ikut tersenyum.
“Hujan-nya udah agak reda. Mau aku anter
pulang? Sekalian aku tau rumahmu. Kasian kamu pulang sendiri, gak baik. Mau
ya?”
Tawar-mu ketika hujan telah reda dan aku
bersiap pulang.
“Rumahku agak jauh, nggak papa?”
“Sejauh apasih? Makin jauh makin baik, biar
aku bisa lama-lama ngobrol sama kamu, kan?”
Aku tersenyum semanis yang aku mampu.
Entah perasaan apa yang ada didalam hatiku.
Cinta-kah ini?
Kita keluar toko buku menuju parkiran. Namun
tiba-tiba kamu berhenti.
“Dis, liat deh. Benerkan kataku, habis hujan
pasti ada pelangi”
Aku segera menoleh keatas langit dan benar,
menemukan pelangi yang melengkung indah diatas sana.
“Iya ,Bim” Sahutku seraya menetapkan rasa
dihatiku.
Lama setelah perkenalan itu, aku dan Bima
makin dekat.
Aku sering menunggunya saat manggung di cafe,Sering
menemani-nya untuk latihan,Ikut masuk kedalam dunianya.
Tapi, belum masuk kedalam hatinya.
Aku telah menetapkan rasa yang muncul ketika
melihatnya tersenyum, rasa yang muncul ketika mendengarnya berbicara, rasa yang
muncul ketika mengamatinya saat bermain saxophone, dan rasa yang selalu meminta
disambut ini adalah cinta.
Aku masih saja menantimu dibatas-batas hujan dan
senja.
Membiarkan hatiku larut dalam rasa yang sampai
saat ini belum kamu sambut.
Merelakan cinta ini digantung dalam harapan.
Mengharapkan
cinta sewajarnya, mencintai sewajarnya.
Aku mencintaimu lebih dari wajar. Aku
mengharapkanmu diatas batas normal.
Dan aku terluka.
Ternyata kamu sedang mencintai oranglain,
bukan aku.
Kamu tau rasanya apa?
Seperti dibiarkan melompat dari pinggir
jurang. Jatuhnya sakit.
Aku hampir putus asa. Kecewa-nya tiada tara.
Aku menikmati hujan dengan airmata. Tak
berharap ada pelangi.
Comments
Post a Comment